Profile Pasangan Calon Wakil Bupati BATANG
Meski dilahirkan di Boyolali, timur gunung Merbabu, lelaki berperawakan kecil ini sudah sebagaimana orang Batang asli, mungkin bahkan lebih dari orang–orang yang memang lahir jebrol di tanah Batang. Telah lebih 35 tahun Soetadi memang menjalani hidup dan berkeluarga di Batang. Tak tanggung-tanggung Soetadi isi kehidupan di Batang tersebut dengan menjalankan amanah silih berganti jabatan penting di Soetadi lingkungan birokrasi. Mulai dari
Sekwilcam tahun 1977 dan Camat di Limpung 1993, Camat di Warungasem 1983, Camat di Subah 1987 dan kemudian menjadi kepala Bagian Pemdes (1997) dan assisten Adminitrasi di Setda Batang pada tahun 1999, hingga naik menjadi Kepala Bapeda 2001, dan kembali lagi di Setda sebagai orang nomer satu pada bulan Februari 2004-2009.
Jabatan dan jejak pengabdian itulah yang lalu banyak orang menyebut ia sebagai sosok yang telah hafal rasanya asam garamnya birokasi. Warga di mana Soetadi berdinas memang mencatat sosok Soetadi sebagai birokrat yang mumpuni di setiap tugasnya dan meninggalkan jejak kemajuan yang baik di daerah di mana Soetadi memegang kepimpinan. Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang lembut namun tegas dalam hal-hal prinsip, masih tersimpan di hati warga tiga kecamatan --Limpung, Warungasem dan Subah-- yang Soetadi pimpin. Apalagi ketika melihat sosok Soetadi yang kini telah purna dari kedinasan Setda dengan pangkat terakhir golongan IV e- suatu pangkat tertinggi dan masih satu-satunya dikalangan pejabt Pemda (PNS) di Batang, masih tetap sederhana dengan mobil kijang super bututnya dan rumah mungil, peninggalan mertuanya yang jauh dari mewah.
Birokrat sejati mungkin itu gambaran yang tepat atas sosok Sutadi. Kesejatian itu memang ia bentuk dari kiprah dan perannya saat bertugas, yang bukan sekedar untuk jabatannya tapi pada pilihan untuk bermakna bagi liyan melalui jalan kepamongprajaan sebagai pilihan hidupnya. Sebagai seorang birokrat Sutadi adalah birokrat plus, kenang seorang warga biasa dari kecamatan Limpung. Sosok Sutadi memang tak dapat dilepaskan dengan kepercayaannya akan jalan musyawarah sebagai sikap kepemimpinannya. Dan cerita demikian tidaklah mengada-ada. Saat ada sengekta berkait 23 kios pasar yang sudah sampai putusan PK oleh pengadilan namun tak kunjung pupus di Limpung, Sutadi kala itu tampil dengan ringannya membantu menfasilitasi pemecahannya. Singkat cerita dengan waktu dan rumahnya yang dipakai untuk berkali-kali pertemuan, sengketa itu dapat terpecahkan dan diakhiri. Cerita dan pengalaman ini akhirnya bukan hanya diterima hasilnya oleh para pihak yang bersengketa, namun memberi keyakinan manusia birokrat Sutadi akan arti penting nilai–nilai caracara musyawarah untuk mufakat dalam penyeleisan kasus yang ditemui dalam kedinasan berikutnya.
Bagi Sutadi, nilai kedinasan yang menjadi prinsipnya juga jauh untuk tidak selalu ABS dan dengan andalan jenjang kepangatan apalagi dengan sok kuasa dan bentak-bentak terhadap anak buah. Prinsip anti kekerasan ini kiranya telah jadi pilihannya selama perjalanan dinasnya. Walau ia sendiri pernah menyebutnya dulu ada satu pendidikan yang diikutinya untuk memakai cara militer seperti itu. Sosok Sutadi yang lebih mendahulukan cek-ricek dengan pola santun ini muncul, karena sutadi memng melihat manusia adalah sama . Sebgaiamana ia pernah dapatkan dari pengalaman yang sama bahwa kebenaran dan pengetahuan tidak memandang status kaya miskin, termasuk dari tukang becak sekalipun kala ia ngobrol bersamanya di awal awal menjadi camat baru di Warung Asem.
Pepatah mengatakan the right man in the right place kiranya tepat menggambarkan profesionalisme Soetadi dalam tugas kepamongprajaan. Pengalaman panjang sosok Soetadi dalam bidang birokrasi ini menjadi langka dan kiranya sayang untuk dibiarkan terbuang dengan habisnya waktu bagi saat menentukan perubahan birokrasi Batang lebih baik ke depan.
Masa kecil pendidikan Soetadi diselesaikan di Solo hingga lulus dari SMAN 1 Surakarta. Masa muda dengan cita-cita mulai terbentuk untuk menjadi pamong praja membuat Soetadi pindah ke Semarang untuk menyelesaikan APDN Semarang pada tahun 1972-1975. Setelah satu tahun dari kelulusan APDN di Semarang inilah sosok muda Soetadi datang ke Batang, suatu kota yang kemudian berpuluh-puluh tahun berikutnya menjadi rumah pengabdiannya dan tak pernah ditinggalkannya. Di Batang pula Soetadi sembari mengabdikan dalam kedinasan pemerintahan memperdalam ilmu hukum di Universitas Pekalongan dan lulus tahun 1998. Rupanya kehausan akan ilmu untuk menjadi referensi bagi pengadiannya di pemerintahan belum terpenuhi hingga Soetadi masuk pendidikan tingkat Megister Manajemen yang ia selesaikan di Universitas Trianandra Jakarta pada tahun 2004.
Berpuluh-puluh tahun Soetadi mengabdi di lingkungan birokrasi pemerintahan dan telah memberikan bekal pengalaman yang tak terhingga bagi Soetadi. Hingga menjadi pensiunan, Soetadi seperti di saat berada di Setda seringkali mendengarkan dan memikirkan keluh kesah dari para teman-teman koleganya dulu di lingkungan birokrasi dan membantu untuk menyelesaikannya. Dan banyak peristiwa yang harus dilaluinya hingga pada kesimpulan dan keyakinannya bahwa jika salah urus Batang ini dibiarkan terus menerus terjadi maka akan semakin memperparah kondisi Batang. Keyakinan itu pula yang memberikan energi baru bagi Soetadi dari yang seharusnya telah pensiun, dan menikmati menjadi sekadar ketua RT, merasa harus melanjutkan pengabdiannya bagi warga Batang, menemani Yoyok Riyo Dibyo, bersama-sama mendorong terwujudnya sejahtera di Batang, terutama bagi rakyat Batang.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

1 komentar:
SELAMAT ATAS KEMENANGAN INI, SEMOGA BISA MENJAGA AMANAH UNTUK MEMBAWA BATANG KEARAH YANG LEBIH BAIK
Posting Komentar